Menuju Sekolah Bertaraf Internasional??
“Ya Allah, capek banget nih pulang sore terus…”
“Ia, hampir enggak ada waktu untuk santai.”
“Pulang sore, trus les, trus masih ngerjain tugas, belum lagi belajarnya.”
“Jenuh lama-lama seperti ini.”
Hampir setiap hari, yang dikeluhkan hampir rata-rata siswa adalah jam sekolah yang terlalu padat. Bahkan tidak itu saja, tugas sekolah yang menumpuk, lalu tuntutan les di sana sini karena merasa masih kurang dalam hal pengajaran.
Timbul banyak pertanyaan sejak pertama kali diberlakukannya jam pelajaran yang bertambah menjadi 10 jam pelajaran. Mulai dari, “Untuk apa yang sepereti ini? Demi kemajuan? Tapi mengapa malah membebani murid dan guru?”, “ Efektifkah metode
sekolah dengan memulangkan anak-anaknya seetelah berakhir jam ke-10?”, “Lalu jika memang efektif, mengapa banyak di antara siswa-siswi yang masih mengambil bimbingan belajar, atau les, atau privat? Bukankah mereka mengambil bimbingan belajar dan yang lainnya karena merasa kurangnya pengajaran di sekolah?”, dan berbagai pertanyaan yang masih sama. Kompleks.
Melihat realitas yang ada, akankah pihak sekolah hanya bungkam saja? Padahal, sejak awal percobaan 10 jam mata pelajaran dengan kuantitas 1 jam pelajaran 45 menit sudah banyak mendapatkan protes sana-sini dari pihak siswa.
Seorang guru pernah memberikan pernyataan kepada guru lainnya, “Kasihan anak-anak itu, Pak. Saya amati, setelah jam 2 siang itu, mereka sudah terlihat lelah sekali.”
Dengan pernyataan di atas, dapat diartikan. Ternyata, tidak hanya dari pihak siswa saja yang sulit menerima 10 jam mata pelajaran yang “hanya” dilaksanakan dalam 3 hari itu. Untuk segelintir siswa yang kurang memiliki ketahan tubuhnya misalnya, mereka jadi sering sakit, dan konsekuensinya adalah tertinggal pelajaran. Tidak hanya itu, ternyata juga dampaknya adalah rasa jenuh yang menyebabkan siswa-siswi kelas X mengabaikan kegiatan ekstrakulikuler. Benar, bahwa sekolah adalah media belajar bagi siswa dan pengajran bagi guru. Tapi, kita tidak boleh mengabaikan begitu saja, pentingnya kegiatan ekstrakulikuler. Jika pelajaran-pelajaran di kelasa adalaha sebagai bekal materi, maka pelajaran di kegiatan ekstrakulikuler adalah bekal non-material yang tidak kalah pentingnya bagi siswa.
Benar, jika sekolah ingin memajukan taraf kualitas sekolahnya dengan beberapa kebijakan seperti di atas. Tapi, salahkah pihak sekolah mendengar keluh, uneg-uneg, atau sekedar curahan hati dari siswa-siswanya? Lalu meringankan kebijakannya?
Sayangnya, sampai detik ini. Karena keluh kritik yang mereka layangkan melalui KOTAK SARAN di depan ruang BK seperti tidak digubris oleh pihak sekolah. Mereka, jadi merasa seperti anak tiri “yang tidak diperhatikan.” Dan kekecewaan satu demi satu menumpuk.
Lalu, akankah terus seperti ini sikap sekolah terhadap anak didiknya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar